Perbandingan Penempatan Militer di Indonesia dengan AS Berbahaya dan Keliru
Oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan *)
Pada 18 September 2025, Jubir Kementerian Pertahanan (Kemhan) RI Brigjen Frega Wenas Inkiriwang di hadapan awak media menyampaikan bahwa pengerahan penempatan militer untuk menjaga sejumlah fasilitas umum, pada saat ini juga terjadi di Amerika Serikat (AS). Menurut Frega, kondisi fasilitas umum AS yang dijaga tentara, berdasarkan informasi yang diterima Frega, justru membuat tingkat kriminalitas menurun.
Koalisi memandang, pernyataan Kementerian Pertahanan itu adalah pernyataan yang kurang tepat. Membandingkan antara satu negara dengan negara lain yang memiliki sistem negara serta konstruksi angkatan bersenjata yang berbeda adalah tidak apple to apple. Indonesia adalah negara kesatuan, sementara AS adalah negara federal. Keduanya memiliki sejarah militer yang berbeda dan konstruksi angkatan bersenjatanya yang dimiliki pun berbeda.
Koalisi memandang, pernyataan Kemhan yang membenarkan pelibatan TNI dalam menjaga keamanan dalam negeri di Indonesia dengan merujuk pada pelibatan tentara di AS dalam menjaga keamanan dalam negeri adalah pernyataan yang keliru.
Saat ini di beberapa negara bagian di AS kebijakan Presiden Donald Trump yang mengerahkan tentara (National Guard) di beberapa negara bagian di AS dikritik rakyat Amerika bahkan digugat oleh pemerintah negara-negara bagian AS. Misalnya, Pemerintah Negara Bagian California (Gubernur) telah menggugat kebijakan tersebut ke pengadilan federal AS.
Hasil keputusan Pengadilan Federal tersebut adalah pelibatan militer illegal merujuk pada Posse Comitatus Act. Kebijakan yang sama juga terjadi di Washington DC dan sedang digugat di Pengadilan Federal oleh Jaksa Agung Washington DC. Dengan demikian salah dan keliru jika Kemhan menjadikan AS sebagai contoh untuk menjustifikasi pelibatan TNI dalam keamanan dalam negeri di Indonesia karena di AS saja pengadilan telah menyatakannya ilegal.
Koalisi juga menilai perbandingan dengan AS yang menganggap pelibatan militer di AS mengurangi angka kriminalitas tidak memiliki basis ilmiah yang jelas. Naik turunnya angka kriminalitas bukan karena pelibatan militer.
Banyak faktor yang memengaruhi naik turunnya angka kriminalitas di AS. Bahkan berdasarkan data yang ada, pengerahan pasukan di beberapa negara bagian dilakukan di wilayah yang angka kriminalitasnya sedang menurun. Sehingga pengerahan pasukan di beberapa wilayah di AS adalah lebih bersifat politis ketimbang karena masalah kriminalitas. Hal itulah yang menyebabkan kebijakan tersebut digugat karena berlebihan, tidak proporsional, dan melanggar hukum.
Koalisi memandang perbandingan dengan AS di bawah kepemimpinan Donald Trump adalah berbahaya dan keliru. Rezim pemerintahan Trump adalah rezim pemerintahan yang dikritik dan disoroti baik di dalam maupun di luar negeri AS akibat kebijakan yang anti demokrasi/fasisme. Dengan meniru AS, itu berarti Kemhan sedang mengarahkan rezim pemerintahan di Indonesia ke arah rezim yang anti demokrasi/fasisme salah satunya terkait dengan isu pelibatan militer di wilayah sipil.
Koalisi memandang, pelibatan TNI akhir-akhir ini di Indonesia dalam menjaga keamanan dalam negeri, semisal yang terbaru menjaga gedung DPR adalah berlebihan, tidak proporsional, dan jauh keluar dari fungsi sejatinya sebagai alat pertahanan negara.
Lebih dari itu, berdasarkan konstitusi seharusnya bukan menteri pertahanan yang melibatkan militer dalam wilayah sipil melainkan hal tersebut adalah kewenangan Presiden. Selain itu, semestinya dalam kondisi normal/damai seperti saat ini secara konstitusional fungsi TNI adalah fungsi pertahanan bukan keamanan sehingga TNI tidak perlu terlalu jauh terlibat dalam urusan dalam negeri.
Upaya memaksakan pelibatan TNI dalam wilayah sipil tidak sesuai dengan suara rakyat sebagaimana tercantum dalam tuntutan 17+8 yang menghendaki militer kembali ke barak, menghentikan keterlibatan dalam pengamanan sipil, dan tidak memasuki ruang sipil.
Jakarta, 19 September 2025
*) Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan
Imparsial, YLBHI, KontraS, PBHI, Amnesty International Indonesia, ELSAM, Human Right Working Group (HRWG), WALHI, SETARA Institute, Centra Initiative, ICW, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya Pos Malang, Aliansi untuk Demokrasi Papua (ALDP), Public Virtue, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), BEM SI, De Jure, Raksha Initiative, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI)
Narahubung:
1. Ardi Manto (Direktur Imparsial)
2. Al Araf (Ketua Centra Initiative)
3. Usman Hamid (Amnesty International Indonesia)
4. M Isnur (YLBHi)
5. Dimas Bagus Arya (Kontras)
6. Julius Ibrani (PBHi)
7. Daniel Awigra (Direktur HRWG)
8. Bhatara Ibnu Reza (DeJure)
9. Wahyudi Djafar (Raksha Initiatives)
10. Ikhsan Yosarie (Setara Institute)
11. Mike Tangka (KPI).
Post a Comment